Romo yai dan Bu nyai

Romo yai dan Bu nyai

Minggu, 19 Desember 2010

SEJARAH PESANTREN MODERN AL-AMANAH 2


Pondok Al Amanah adalah wujud idealisme dari pendirinya yaitu ustadz Nurcholis Misbah, seorang alumni Universitas Gajah Mada (UGM) yang tidak pernah mau menyandang gelar kesarjanaanya, yang hingga kinipun –menurut pengakuan beliau - tidak pernah dan tidak akan mengambil ijazah kelulusannya, demi untuk menjaga kemurnian cita-citanya mendirikan Pondok Pesantren.
Perjalanan beliau ini, dimulai sejak tahun 1984 yang pada waktu itu masih berdomisili di Mojosantren, sebuah desa yang terletak di kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo. Beliau tinggal disana sekitar tiga tahun, aktifitas mengamalkan dan menyiarkan agama cukup berhasil, dengan membina pemuda dan masyarakat setempat yang secara tidak disadari mendapatkan respon yang cukup positif dari banyak pihak, sehingga kemudian berujung pada pembangunan sebuah gedung yang direncanakan menjadi pusat aktifitas pendidikan dan pembangunan masyarakat (Islamic Center), yang dipercayakan kepada beliau untuk dipelihara dan dikembangkan. Namun, dikarenakan kesalah pahaman masyarakat setempat terhadap pola pemikiran beliau, sehingga dukungan dan kepercayaan atas beliau dalam meng handle Islamic centerpun dicabut, sehingga pada tahun 1987 setelah merasakan tinggal di Mojosantren selama 4 tahun lamanya tanpa hasil yang signifikan dalam melaksanakan visi dan misi beliau, akhirnya beliaupun pindah ke duku “Kwangen” yang berada di desa Junwangi yang jaraknya + 1 km dari Mojosantren.Kehidupan baru di Kwangen (Junwangi) sangat berbeda dengan apa yang beliau rasakan di Mojosantren, yang dari segi kehidupan beragama bisa dikatakan kental serta kaum mudanya disibukkan dengan kerja, karena secara geografis Mojosantren adalah tempat strategis yang terkenal dengan Home Industry sepatunya, banyak orang dari luar mengais rizki disini, seakan kejayaan itu tidak pernah akan pudar. Adapun di Kwangen (Junwangi) sebaliknya, kehidupan agama sama sekali tidak nampak, yang ada hanya sebuah musholla kecil yang kotor tak terawat, hal ini menunjukkan lambang stagnasi kehidupan agama.
Disamping itu, banyak kaum muda disana menjadi pengangguran, pagi sian dan sore hanya duduk-duduk sambil ngobrol, dan ketika malam tiba, mereka menghabiskan waktu dengan beraneka permainan judi seperti remi, domino dan catur.
“Pak Nur”, demikianlah beliau akrab dipanggil, dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan tersebut dan berusaha menyiarkan agama dengan jalan menghidupkan musholla kecil yang ada. Lima waktu beliau coba gunakan untuk jama’ah secara rutin, khususnya pada waktu Maghrib, Isya’ dan subuh. Dan hal tersebut ternyata memberikan “prespektif baru” pada masyarakat, sebagian mereka banyak yang mengikuti, apalagi dengan adanya sedikit kemampuan beliau dalam hal mengobati beragam penyakit, baik untuk masyarakat setempat maupun desa lain, yang secara tidak disadari menambah “wibawa” , sehingga orang yang mengikuti sholat jama’ah semakin banyak dan mushollapun tidak mampu menampung jamaahnya. Yang akhirnya dengan para tokoh masyarakat setempat, beliau dalam musyawarah mengajak dan akhirnya sepakat untuk membangun dan memperbesar musholla dengan segala daya dan upaya yang ada, sehingga musholla tersebut nampak lebih segar dan bagus.
Pengajian anak-anakpun mulai dilakukan, yang cukup banyak santrinya dan jama’ahpun juga bisa dilaksanakna sekaligus dengan mereka. Mereka membuat sumber dana dengan membuat kios yang berjualan rokok, permen dan koran bertempatkan di muka pabrik gula krian.
Walaupun kios itu kurang berhasil seperti apa yang telah direncanakan, tapi pada esensinya mempunyai nilai tambah pengalaman dan bisa mengembalikan modal kepada pemilik dengan sedikit keuntungan, yang akhirnya banyak pemuda sukses bekerja dan tinggal sedikit dari mereka yang menganggur.
Setelah berhasil dengan pengajian anak-anak kecil di musholla dan kurang memuaskan, maka beliau mulai merintis pengajian anak di rumah, yang kemudian “Ibu Rifa’atul Mahmudah (istri Pak Nur), mulai menerima santri putri anak tetangga yang kemudian disusul oleh anak-anak yang lain, dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh, beliaupun mulai mendirikan pesantren.
Langkah pertama yang dilakukan untuk menopang kegiatan pengajian anak-anak dan pendanaan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan adalah mencari donatur. Kendati saat itu Pondok al Amanah belum mempunyai suatu yang dapat dibanggakan, namun banyak orang yang simpati dan berkenan menjadi donatur tetap.
Sekitar pada tahun 1992, bangunan yang telah dirintis dapat ditempati, dan tepatnya pada bulan Agustus tahun yang sama (tahun 1992), diadakan sebuah pengajian umum oleh Ibu Uci Nurul Hidayati dan KH. Sholeh Qosim, sebagai simbol peresmian Pondok dan merupakan babak baru sebuah upaya mewujudkan pesantren.
Sementara itu, untuk merumuskan karakter pesantren yang tengah beliau rintis, pencarian bentuk terus beliau lakukan dengan cara keluar masuk mengunjungi banyak pesantren, baik yang bertipologi salaf (klasik), maupun yang bertipologi modern, maka akhirnya beliau putuskan bahwa pesantren al Amanah berkiblat pada pesantren Modern, yang dalam hal ini modern bukan pada gedung maupun fasilitas, melainkan dari segi falsafah dan tata cara berfikir dalam sistem pendidikannya.
            Adapun falsafah dan cara berfikir yang mendasari Pondok Pesantren modernAl Amanah Junwangi Krian Sidoarjo adalah sebagai berikut:
  1. Seluruh komponen pesantren harus menjadi bagian dari sistem pendidikan, yang diharapkan ketika santri memasuki kawasan pesantren. Kendati tanpa kalimat, telah dapat menangkap suasana tertentu, suasana pendidikan, belajar, tertib dan disiplin
  2. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu, guru hanya satu bagian saja dari sumber-sumber ilmu yang ada. Adapun santri, dikembangkan, dilatih untuk bisa mengambil hikmah dari siapa dan dari apa saja.
  3. Perpustakaan menjadi unit yang sangat penting, dimana para santri dilatih agar rajin membaca, mencatat dan mengambil pengetahuan yang diperlukan.
  4. Pengembangan intelektual merupakan komponen terpenting dalam proses belajar mengajar.
  5. Bahasa juga menjadi komponen dalam “Kemodernan” Al Amanah, karena perannya yang amat sangat besar untuk membuka pintu-pintu khazanah keilmuan. Bahasa Indonesia, arab dan inggris menjadi bahasa wajib, ketiga bahasa tersebut didahulukan karena sebagian sumber keilmuan tertulis dalam tiga bahasa tersebut.
  6. Hubungan antara guru dan murid bersifat “Patner”, karena masing-masing melaksanakan tugas, mendidik sama mulianya dengan menuntut ilmu, maka yang terjadi adalah hubungan saling hormat menghormati dan saling memahami. Hubungan seperti ini menghasilkan pola hubungan yang tidak saling tergantung dan bergantung, sehingga dalam proses belajar mengajar di pondok pesantren dapat berjalan dengan lancar dan kondusif.
Dengan falsafah pendidikan seperti itu, diahrapkan lahir generasi yang amat mudah beradaptasi, cepat belajar dari lingkungan dan mampu memilah dan memilih, kemudian mengambil yang terbaik.
Letak georgrafis
Secara geografis, Pondok Pesantren modernAl Amanah terletak di desa Junwangi, tepatnya di duku Kwangen, Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo. Adapun batas-batas lokasinya adalah sebagai berikut:
      1. Sebelah utara berbatasan dengan desa Kembang Sore
      2. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Terik
      3. Sebelah barat berbatasan dengan desa Kemasan
      4. Sebelah timur berbatasan dengan desa Candi Negoro (wilayah kecamatan Wonoayu)
Dengan lokasi yang berada di daerah pedesaan, masyarakat sekitar dan lingkungannya masih dalam kategori sangat sederhana dan masih alami, yang menjadikan suasana menjadi akrab dengan ketenangan, kesejukan dan keindahan, disamping letaknya yang berdampingan dengan areal persawahan yang sangat mendukung untuk terciptanya suasana belajar yang kondusif, tenang dan nyaman tanpa adanya banyak gangguan selama proses pembelajaran

SEJARAH PESANTREN MODERN AL-AMANAH


SEJARAH PESANTREN MODERN AL-AMANAH
                                      
Pesantren al-Amanah kami rintis dari sebuah “cita-cita” yang nyaris disebut “mimpi” karena kami tak memiliki bekal apapun, kecuali “keyakinan dan semangat”. Beberapa langkah awal yang kami lakukan:
  1. Mencari informasi sebanyak-banyak tentang pesantren. Maka kami kunjungi banyak pesantren, dari pesantren-pesantren besar seperti Gontor, Asy-Syafiiyah Situbondo, Lirboyo, Ploso, sapai pesantren yang tinggal puiang-puing. Dan kami kupulkan buku yang berbicara tentang pesantren.
  2. Menyiapkan beberapa kader, yang kelak akan kami jadikan teman untuk mulai membangun dan merintis pesantren.
  3. Terus meningkatkan kemampuan dengan banyak membaca dan mengoleksi banyak buku .
Pertama kali kami terjun di desa “Mojosantren”, sebuah desa  yang dahulu terkenal sebagai desa santri yang kemudian  mengalami pergeseran karena “industri”. Kami tertantang untuk mencoba mengembalikan masa lalu sebagai desa santri. Kami yakin bisa dengan beberapa pertibangan :
  1. Banyak tokoh yang menginginkan
  2. Potensi keuangan yang luar biasa dengan adanya home industri sepatu, dimana tiap hari ribuan pekerja mencari rizki di pedukuhan ini.
Beberapa langkah yang kami lakukan :
  1. Mengadakan aneka kegiatan, diskusi, pengajian, kajian dengan aneka lapisan masyarakat.
  2. Mengumpulkan para tokoh dan sesepuh dan pemilik perusaahaan, untuk menyampaikan rencana kami.
Gagasan kami mendapat sambutan luar biasa, baik dari kaum muda, sesepuh dan para pengusaha hingga dalam waktu singkat “suasaana keagaaan” begitu terasa. Gedung yang kami rencana juga dimulai, sumbangan dari tokoh masyarakat mengalir lancar. Dalam waktu singkat, lantai pertama hampir selesai dari dua lantai.
Tak terduga, ada “perbedaan” cara dalam mengembangkan pesantren dan membangun pesantren yang kemudian menimbulkan “salah paham”. Akibatnya sebagian besar masyarakat “marah”, dan memutuskan dukungan, hingga bangunan tidak bisa dilanjutkan. Setahun kami menunggu, masyarakat tak mau lagi meneruskan. Akhirnya dengan kekecewaan yang luar biasa kami “hijrah” di desa Junwangi, hanya 1 km dari mojosantren dengan mengikuti aliran sungai.
Sebenarnya kami tak langsung masuk desa Junwangi, beberapa desa kami “coba”, beberapa rumah kami lihat, tapi kurang cocok. Desa Junwangi, adalah yang tidak sengaja,mungkin Alloh SWT. Sendiri yang menunjukkan.
Kegagalan di Mojosantren memang amat pahit, tapi kami terus mempelajari. Di Junwangi kami menggunakan cara yang lain. Apalagi keadaan Junwangi berbeda dengan mojosantren. Junwangi adalah desa yang belum tersentuh da’wah, hingga kebiasaan melakukan aneka judi, minuman keras masih terjadi. Satu mushola kecil di pedukuhan tempat kami tinggal tak ada jamaahnya keculi pemilik musholla dan seorang putranya.
Langkah kami adalah sbb :
  1. Mengalir, mengikuti kegiatan masyarakat, khususnya kaum muda dengan harapan mereka menerima kehadiran kami seperti ; catur, remi, cangkrukkan dll.
  2. Pelan-pelan kami memberi teladan, misalnya ketika masuk waktu shalat kami dengan isteri berangkat ke mushalla.
  3. Kami berusaha menghidupkan mushalla pedukuhan, dengan jamaah, pengajian dan membangun.
Pesantren al-Amanah mulai kami rintis setelah mushalla kampung berjalan, jamaah lima waktu terlaksana dengan baik. Di rumah kontrak kami mengajar mengaji anak-anak kecil, mulai dhuhur hingga larut malam tiap hari. Anak yang mengaji bertambah banyak, cita-cita makin kuat, keyakinan kami makin sempurna.
Tanah wakaf dari ibu Kamsini menambah kuatnya semangat. Rumah tetap kontrak, tanah wakaf mulai kami pondasi. Berbeda dengan di Mojosantren, di Junwangi kami merintis sendiri tidak banyak melibatkan orang lain. Ternyata tidak mudah, setahun hanya berupa pondasi, tak mampu meneruskan.
Baru tahun 1992 kami sempurnakan, dan bulan agustus 1992 KH. Shaleh Qasim kita rawuhkan  untuk berdoa dalam acara penting itu. Saat itu baru ada dua santri mukim dari desa tetangga, selebihnya putra-putri anak tetangga.
Rintangan silih berganti, ujian terus kami hadapi, hal-hal sulit terus  bermunculan, tapi pelajaran yang Alloh berikan ketika di Mojosantren meneguhkan kami untuk terus maju. Dan alhamdulillah, terus berkembang, al-Amanah mulai menjadi alternative masyarakat untuk mencari pendidikan formal dan pesantren.



MOTTO PPM AL-AMANAH
"الذين يستميعون القول فيتبعون أحسنه"
(Yaitu) Orang-orang yang mendengarkan suatu perkataan, kemudian mereka mengikuti kebaikan (dari perkataan tersebut)



PANCA JIWA SANTRI
  1. kesempurnaan iman,
  2. keihlasan beramal,
  3. kemuliaan budi pekerti,
  4. keunggulan ilmu, dan
  5. kepekaan social


TUJUH KEWAJIBAN SANTRI
  1. sholat berjama'ah
  2. sholat malam
  3. sholat dhuha
  4. membaca al-quran
  5. menggunakan bahasa resmi yaitu bahasa arab dan bahasa inggris
  6. membaca buku
  7. menjaga kebersihan
PERATURAN
PONPES MODERN Al-AMANAH

PERATURAN PERIJINAN PULANG

1.      Libur perpulangan santri pesantren modern al-amanah hanya berlangsung 2x dalam setahun yaitu seputar idul fitri dan liburan semester II
2.      selain ketentuan di atas, perijinan pulang hanya diberikan pada santri karena: sakit, ada keluargameninggal dan ada keperluan yang amat penting
3.      lama perijinan pada poin 2 berlaku selama 24 jamatau sehari semalam
4.      perijinan pulang karena sakit diberikan sesudah santri mendapat pelayanan pengobatan dari pesantren dan belum ada perkembangan signifikan
5.      perijinan pulang karena sakit lebih dari 1 hari harus menyerahkan surat keterangan dokter
6.      perijinan pulang harus disertai orang tua/wali. Khusus untuk santri putrid wali yang ditunjuk adalah muhrim yang terdaftar dalam “kartu Muhrim” yang dikeluarkan pesantren
7.      orang tua hanya diperkenankan membawa putra/putridnya pulang setelah mendapat surat keterangan izin pulang yang telah ditanda tangani oleh bagian perijinan
8.      setiap perpulangan tanpa surat izin pulang dari bagian perijinan dikategorikan pelanggaran terhadap peraturan perijianan pulang
9.      pelanggaran terhadap ketentuan di atas akan dikenakan iqob

PERATURAN BELANJA DAN MEMBELI MAKANAN

1.      Segala kebutuhan sehari-hari santri disediakan koprasi pondok, oleh karena itu santri tidak diperbolehkan membeli kebutuhan sehari-harinya diluar koprasi pondok
2.      Untuk memeneuhi makanan/jajanan santri, pesantren menyediakan kantin
3.      Santri tidak diperkenankan membeli makanan diluar kantin pondok
4.      Orang tua diperbolehkan membeli makanan diluar kantin pondok dengan ketentuan :
a.       Tidak mengajak putra putrinya turut kewarung
b.      Membawa makanan tersebut keruang tamu pondok
c.       Bila membeli makanan/minuman untuk wali santri sendiri,sangat bagus bila orang tua tidak duduk diwarung atau dijalan, namun membawa makanan/ minuman tersebut kedalam ruang tamu pondok
5.      bila kebutuhan tersebut belum ada , maka pihak koperasi berkewajiban untuk segera menyediakan dan santri harus inden (menunggu barang tersebut ada
6.      orang tua diperkenankan membeli barang kebutuhan santri diluar koperasi pondok dengan tidak mengajak putra putrinya

KEWAJIAN SANTRI

1.      menjaga tujuh kewajiban santri (menggunakan bahasa resmi, sholat jamaah, sholat dhuha, baca al-quran, menjaga kebersihan, sholat malam, dan membaca buku)
2.      menjunjung tinggi nilai-nilai kepesantrenan dan panca jiwa santri (kesempurnaan iman, keihlasan beramal, kemuliaan budi pekerti, keunggulan ilmu, kepekaan social)




LARANGAN-LARANGAN SANTRI

1.      Memakai perhiasan yang berlebi-lebihan serta berdandan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia untuk santri putra maupun putri
2.      pulang tanpa ijin
3.      Membawa/merokok, membawa atau minum-minuman keras serta bahan lainnya yang bisa memabukkan, membawa atau menggunakan obat-obat terlarang baik didalam maupun diluar pondok
4.      Berkelahi atau main hakim sendiri jika terjadi persoaalan atara sesama teman atau dengan tenaga pendidik dan kependidikan baik didalam maupun diluar pondok
5.      Membawa senjata tajam atau benda-benda lainnya yang bisa digunakan sebagai
6.      Membawa gambar atau video porno, kaset porno atau barang-barang sejenisnya ke pesantren
7.      Menjadi anggota perkumpulan anak-anak nakal dan geng-geng terlarang

SANKSI-SANKSI

            Pelanggaran yang dilakukan santi terhadap ketentuan-ketentuan di atas akan dikenakan iqob (hukuman) sesuai ketentuan :
1.      Diberikan nasehat ,pembinaan dan teguran
2.      Melakukan pelanggaran sampai tiga kali diperingatkan harus membuat surat pernyataan yang diketahui wali kelas
2.      Melakukan pelanggaran empat kali, diperingatkan membuat surat pernyataan yang harus diketahui wali kelas dan kedua orang tua dan kepala pondok
3.      Melakukan pelanggaran lima kali orang tua diundang kepesantren
4.      Melakukan pelanggaran tujuh kali diserahkan kepada orang tua  selama satu hari dapat masuk kembali bersama orang tua
5.      Melakukan pelanggaran sembilan kali diserahkan kepada orang tua selama satu minggu dan dapat masuk kembali bersama orang tua 
Melakukan pelanggaran lebih dari sembilan kali, dikembalikan kepada orang tua dan diperkenankan membuat surat permohonan pindah.